Pendidikan Guru Keluarga : Menyiapkan Generasi Pejuang

Bismillahirahmanirahim

Akhir-akhir ini saya bersama teman saya menyibukkan diri untuk mengikuti informasi kajian terkait parenting. Kemarin lalu teman saya memposting beberapa poster mulai dari Fiqih Munakhahat hingga Kiat-Kiat Menjadi Guru Keluarga. Lalu ada yang memberikan respon terkait hal itu, begini responnya “Wah, udah kebelet aja nih” ada lagi “Ayok Ukh disegerakan, Ane tunggu undangannya” dan satu lagi yang lebih mainstream “Afwan Ukh, Ane mau mengajak ta’aruf, apakah ada wali/orang yang bisa ane hubungi langsung?” Jleb!

Seketika teman dan juga saya untuk segera menghapus poster dan hasil-hasil kajian tersebut. Alih-alih ingin menyampaikan ilmu yang bermanfaat malah ketimpa komentar netijen. ha ha

Jadi, insyaAllah saya sekarang ini ingin sekali menulis terkait pendidikan wajib bagi orang tua maupun calon orang tua, yang terhindar jauh dari Munakhanat. Sehingga tujuan dari menulis ini bukan hanya sekedar kata-kata yang bertebaran di depan layar gadeget kalian. Melainkan menyampaikan apa aja sih yang perlu dipersiapkan bagi kita dalam mendidik anak-anak kita kelak. *agak berat menyebut anak-anak 🙂

Pendidikan merupakan hal sangat wajib bagi orangtua dalam mendidik anak. Bukan hanya perkara “yaudah nikah aja, masalah urusin anak belakang” hal yang seperti ini perlu diubah mulai dini, terkait pola pikir orang dewasa zaman sekarang. Sehingga orang dewasa zaman sekarang faham akan tugas utama orang tua adalah mendidik anak agar menjadi orang baik, bermanfaat, dan menjadi pejuang. Bukan hanya sekedar bisa makan dan meraih gengsi (matrerialistis).

Seperti halnya sholat, mendidik anak itu perlu ilmu dan hukumnya fardhu ‘ain. Namun bukan hanya perkara menyuruh *ingat menyuruh melainkan mengajarkan* sholat ketika anak telah baliq, tetapi bagaimana bisa mengajarkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Seperti tertulis dalam QS. Luqman ayat 31, berbunyi :

“Wahai anakku! Laksanakalah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesunguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting”

Amal Ma’ruf dan Nahi Munkar adalah kutub terbesar dalam urusan agama, kata Al-Ghazali. Jika aktivitas amar ma’ruf nahi munkar hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan. (Dr. Adian Husaini – 10 Kuliah Agama Islam : BAB Tegakkan Kebenaran, Lawan Kemungkaran), hlm.228

Perkara amar ma’ruf nahi munkar bukan sebatas hal-hal kebaikan dan menjauhi keburukan. Namun bagaimana sebagai orang tua nanti mampu mengajarkan bagaimana mencegah sekaligus mengubah kemunkar yang merajalela di muka bumi ini. Seperti hal pada judul artikel ini, bukan sekedar menjadi generasi emas bangsa, tapi menjadi generasi pejuang, lebih-lebihnya pada era 4.0 ini. Tantangan moderinisasi yang menjadi terbesar bagi peran orangtua dalam mendidik anak. Maka tak heran ada kata-kata yang terlahir di zaman sekarang ini, “Jangan pernah menjadikan anak setengah Yahudi, setengah Nasrani, setengah Majuzi” 

Bagi saya sendiri dalam menghadapi 4.0 era, berilmu saja tidak cukup jika kita tak bisa menerapkan critical thinking. Seperti kata Dr. Adian Husaini, dalam menghadapi 4.0 yang patut diperlukan ialah : Critical thinking, collaboration and communication. 

Yang parahnya lagi sempat saya menyimak hasil kuisioner dari beberapa mahasiswanya Dr Adian Husaini saat itu, 90% mahasiswa dikampus telah terjerumus akan paham-paham Sekuler maupun pluralirsme. Hal ini terdengar sepele dan beberapa mahasiswa tak akan sadar. Namun perlu ditekankan, pemikiran dari para mahasiswa terkait hal ini, beranggapan semua agama adalah sama karena inti dari semua agama ialah mengajarkan kebaikan. Padahal kita tahu bahwa agama Islam memiliki inti itu sendiri ialah Tauhid. *perkara tauhid ane tak jabarkan, sesi lain yak^^

Balik lagi pada permasalahan 4.0 yang dihadapi orang dewasa muslim akhir-akhir ini. Bagaimana kita bisa mendidik sesosok pejuang kelak, padahal kita yang akan menjadi orang tua mereka telah kalah dalam urusan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga saya telah menyimpulkan dalam kajian Dr. Adian Husaini menyebutkan pendidikan apa saja yang perlu ditempuh untuk menjadi guru keluarga nanti, beliau menyebutkan ada 6 pendidikan mata kuliah, dan itu masih menggunakan kata minimal. Diantarnya ialah : Pandangan Hidup Islam ; Pendidikan Anak ; Fiqih Dakwah ; Pemikiran Kontenporer ; Sejarah Peradaban Islam ; Fiqih Keluarga Sakinah.

Mendengar 6 mata kuliah yang wajib ditempuh agar bisa menjadi al ummu madrash al ula (Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya) ini membuat untuk berfikir apakah perlu kuliah lagi? Memikirkan mata kuliah jurusan saya saja, rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliah wkwkw. Solusinya ialah, belajar bisa dari mana saja. Apalagi sudah di era modern seperti ini. Bukan menjadi penghambat atau penghalang jika mempermasalahkan jurusan maupun waktu.

Perihal mendidik anak perlu ilmu memang suatu kewajiban bagi kita semua. Terlepas dari semua itu, bukan berarti kita perlu menunda untuk menikah. Atau seperti kata teman saya begini “Wah, kalau seperti itu sih, bakal lama nikahnya dong. Kudu belajar dulu” Bukan menunda pernikahan, tetapi permasalahan kita ialah konsep kedewasaan.

Jadi, tugas saya dan teman-teman sekalian terlebih khususnya yang lagi daftar nikah dini. Boleh nih, pasca weddingnya bisa belajar barengan sama pasangan hhe..